Yesus Gembala yang Baik.

Senin, 29 Oktober 2012

Belaian Nan Lembut



Daphna Renan.


Michael dan aku tidak tahu kapan pelayan meletakkan piring-piring di meja kami. Waktu itu kami duduk-duduk di sebuah restoran kecil, terlindung dari kesibukan Third Street, di New York City. Aroma blintze yang baru saja disajikan tidak mengusik keasyikan kami mengobrol. Malahan, blintze itu lama kami biarkan terendam dalam krim asam. Kami terlalu asyik mengobrol sampai lupa makan.

Obrolan kami seru sekali, meskipun yang diobrolkan tidak penting. Kami tertawa-tawa membicarakan film yang kami tonton malam sebelumnya dan berdebat tentang makna di balik teks yang baru saja kami pelajari untuk seminar sastra.

Sementara obrolan kami yang menyenangkan terus berlanjut, pandanganku melayang ke seberang ruangan dan berhenti di sebuah sudut. Sepasang orang tua duduk berduaan di pojok itu. Si wanita mengenakan rok bermotif bunga yang sudah pudar, sama pudarnya dengan bantal tempat ia meletakkan tas tangannya yang kusam. Puncak kepala si lelaki mengkilat seperti telur rebus yang sedang dia nikmati pelan-pelan. Wanita itu mengunyah oatmeal-nya pelan-pelan juga, nyaris dengan susah payah.

Tetapi yang membuat pikiranku teralih kepada mereka adalah keheningan yang melingkupi mereka. Aku seakan melihat melankolis melingkupi pojok tempat mereka duduk. Ketika obrolanku dengan Michael mereda dari gelak tawa menjadi bisikan, dari pengakuan ke penilaian, keheningan pasangan itu mengusik pikiranku. Alangkah menyedihkan, pikirku, kalau tak ada lagi yang bisa diobrolkan. Tidak adakah halaman yang belum mereka baca dalam kisah hidup masing-masing? Bagaimana kalau itu terjadi pada kami?

Michael dan aku membayar makanan kami lalu kami beranjak hendak meninggalkan restoran. Ketika kami melewati pojok tempat pasangan tua itu duduk, dompetku terjatuh. Aku membungkuk untuk mengambilnya, aku melihat, di bawah meja tangan mereka saling berpegangan lembut. Mereka makan dengan hening sambil bergandengan tangan!.

Aku menengakkan tubuhku. Aku sangat tersentuh melihat tindak sederhana namun penuh makna yang mencerminkan kedekatan hubungan pasangan itu. Belaian lembut tangan lelaki tua itu pada jari-jari istrinya yang letih dan keriput mengisi tidak hanya apa yang sebelumya kuanggap sudut yang secara emosional kosong, tetapi juga mengisi hatiku. Keheningan mereka bukanlah keheningan yang selalu kita rasakan setelah mendengar sebaris lelucon atau canda-tawa waktu kencan pertama. Bukan itu. Keheningan mereka adalah keheningan yang nyaman dan rileks, itu adalah ungkapan cinta yang lembut dan tidak selalu membutuhkan kata-kata untuk mengekspresikannya. Mungkin telah bertahun-tahun mereka bersama-sama menghabiskan jam-jam seperti ini dipagi hari. Mungkin hari ini tak ada bedanya dari kemarin, tetapi mereka menikmatinya dengan hati yang damai...
Mereka menerima pasangannya, apa adanya...
  
Sekilas tentang penulis:
Daphna Renan sekarang kuliah di Yale College. Sebelum duduk di kelas enam, dia enam kali pindah rumah dan dalam usia yang sangat muda sudah belajar menghargai persahabatan yang tulus dan awet. Daphna ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah mengisi hidupnya dengan cinta dan tawa, serta mengajarinya tentang banyak hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar