Daphna
Renan.
Michael
dan aku tidak tahu kapan pelayan meletakkan piring-piring di meja kami. Waktu
itu kami duduk-duduk di sebuah restoran kecil, terlindung dari kesibukan Third
Street, di New York City. Aroma blintze yang baru saja disajikan tidak mengusik
keasyikan kami mengobrol. Malahan, blintze itu lama kami biarkan terendam dalam
krim asam. Kami terlalu asyik mengobrol sampai lupa makan.
Obrolan
kami seru sekali, meskipun yang diobrolkan tidak penting. Kami tertawa-tawa
membicarakan film yang kami tonton malam sebelumnya dan berdebat tentang makna
di balik teks yang baru saja kami pelajari untuk seminar sastra.
Sementara
obrolan kami yang menyenangkan terus berlanjut, pandanganku melayang ke
seberang ruangan dan berhenti di sebuah sudut. Sepasang orang tua duduk
berduaan di pojok itu. Si wanita mengenakan rok bermotif bunga yang sudah
pudar, sama pudarnya dengan bantal tempat ia meletakkan tas tangannya yang
kusam. Puncak kepala si lelaki mengkilat seperti telur rebus yang sedang dia nikmati
pelan-pelan. Wanita itu mengunyah oatmeal-nya pelan-pelan juga, nyaris dengan
susah payah.
Tetapi
yang membuat pikiranku teralih kepada mereka adalah keheningan yang melingkupi
mereka. Aku seakan melihat melankolis melingkupi pojok tempat mereka duduk.
Ketika obrolanku dengan Michael mereda dari gelak tawa menjadi bisikan, dari
pengakuan ke penilaian, keheningan pasangan itu mengusik pikiranku. Alangkah
menyedihkan, pikirku, kalau tak ada lagi yang bisa diobrolkan. Tidak adakah
halaman yang belum mereka baca dalam kisah hidup masing-masing? Bagaimana kalau
itu terjadi pada kami?
Michael
dan aku membayar makanan kami lalu kami beranjak hendak meninggalkan restoran.
Ketika kami melewati pojok tempat pasangan tua itu duduk, dompetku terjatuh.
Aku membungkuk untuk mengambilnya, aku melihat, di bawah meja tangan mereka
saling berpegangan lembut. Mereka makan dengan hening sambil bergandengan
tangan!.
Aku
menengakkan tubuhku. Aku sangat tersentuh melihat tindak sederhana namun penuh
makna yang mencerminkan kedekatan hubungan pasangan itu. Belaian lembut tangan
lelaki tua itu pada jari-jari istrinya yang letih dan keriput mengisi tidak
hanya apa yang sebelumya kuanggap sudut yang secara emosional kosong, tetapi
juga mengisi hatiku. Keheningan mereka bukanlah keheningan yang selalu kita
rasakan setelah mendengar sebaris lelucon atau canda-tawa waktu kencan pertama.
Bukan itu. Keheningan mereka adalah keheningan yang nyaman dan rileks, itu
adalah ungkapan cinta yang lembut dan tidak selalu membutuhkan kata-kata untuk
mengekspresikannya. Mungkin telah bertahun-tahun mereka bersama-sama
menghabiskan jam-jam seperti ini dipagi hari. Mungkin hari ini tak ada bedanya
dari kemarin, tetapi mereka menikmatinya dengan hati yang damai...
Mereka
menerima pasangannya, apa adanya...
Sekilas
tentang penulis:
Daphna
Renan sekarang kuliah di Yale College. Sebelum duduk di kelas enam, dia enam
kali pindah rumah dan dalam usia yang sangat muda sudah belajar menghargai
persahabatan yang tulus dan awet. Daphna ingin mengucapkan terima kasih kepada
mereka yang telah mengisi hidupnya dengan cinta dan tawa, serta mengajarinya
tentang banyak hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar