Sarjana,
Penulis, dan Pembela Iman
Nama
C.S. Lewis bisa jadi lebih banyak dikenal melalui kutipan-kutipan singkat
tulisannya yang muncul dalam tulisan orang lain. Kemungkinan para sarjana
sastra Inggris dan sarjana teologia saja yang sempat bertatapan langsung dengan
karyanya. Para penggemar cerita fantasi, yang rajin menelusuri rak-rak toko
buku atau menggeledah pasar buku loak, mungkin beruntung menemukan Kisah dari
Narnia (Dian Rakyat), terjemahan serial dongeng anak-anaknya yang terkenal itu.
Atau, barangkali Anda sempat menonton Shadowlands, film garapan Richard
Atteoborough yang menampilkan akting memikat Anthony Hopkins dan Debra Winger.
Rumah Penuh
Buku
Clive
Staples Lewis lahir di Belfast, Irlandia, pada tanggal 29 November 1898.
Orangtuanya, Albert dan Flora Lewis, berwawasan luas dan gemar membaca berbagai
macam buku.
Merekalah
yang mengajar Jack (nama panggilan Lewis) dan kakaknya, Warren, membaca sejak
dini dan memanfaatkan perpustakaan keluarga. Begitu berlimpah koleksi mereka.
Lewis mencatat dalam otobiografinya, “buku-buku berserakan di ruang belajar, di
ruang gambar , di tempat penggantungan jas, di dua rak buku besar, di ruang
tidur, bahkan di loteng tempat bak penampungan air, buku pun bertumpuk setinggi
bahu saya, bermacam-macam buku bacaan...” Dunia buku, dunia gagasan, menjadi
lebih nyata dan lebih bermakna baginya daripada dunia luar dengan segala
teknologinya pada masa itu.
Keteduhan
rumah ini terguncang hebat ketika sang ibu meninggal saat Lewis berumur sepuluh
tahun. Tepat sebelum meninggal, ibunya memberikan Alkitab bertuliskan, “Dari
Mami, dengan kasih yang terdalam, Agustus 1908.” Namun efek pemberian ini baru
berlangsung lama kemudian.
Lewis
marah terhadap Allah atas kematian ibunya dan menyimpulkan bahwa Allah itu
kejam atau Ia hanya suatu abstraksi yang samar-samar. Inilah salah satu hal
yang kemudia membawanya ke dalam ateisme.
Ayahnya
lalu mengirimnya ke sekolah berasrama, bergabung dengan kakaknya. Keduanya
merasa tidak nyaman karena sang kepala sekolah mudah sekali marah-marah. Lewis
menulis, “Kalau saja sekolah itu tidak ditutup, atau saya harus tinggal di sana
dua tahun lebih lama, barangkali saya tidak akan pernah menjadi sarjana.”
Ironisnya, di sekolah itu pula ia mulai berdoa dan membaca Alkitab. Setelah
sekolah itu ditutup, Lewis masuk ke Malvern Chebourg School di Inggris dan
kemudian melanjutkan ke Malvern College. Tidak lama kemudian, Lewis pindah dan
ditempatkan di bawah pengawasan W.T. Kirkpatrick, yang oleh Lewis dijuluki
sebagai “seorang ateis yang sangat satiris”.
Kirkpatrick
melihat potensi yang kuat dalam diri Lewis dan memberi tahu Albert Lewis bahwa
anaknya bisa menjadi penulis atau sarjana,”namun entahlah kalau untuk bidang
yang lain.” Menyadari kebenaran pandangan Kirkpatrick ini, Lewis mengajukan
permohonan dan memperoleh beasiswa untuk kuliah di College University, kampus
tertua Oxford.
Kerinduan
Akan Sukacita
Kenangan
masa kanak-kanak Lewis mengungkapkan suatu kerinduan yang mendalam akan
sukacita. Sebagai kanak-kanak, ia membayangkan tempat-tempat yang dilimpahi
sukacita kekal. Sewaktu dewasa, ia membaca puisi-puisi romantis, Plato, dan
mitologi Jerman kuno dalam upayanya menemukan sukacita kekal tersebut. “Saya
meragukan bahwa seseorang yang pernah mengecap (sukacita) akan mau – bila hal
itu bergantung padanya- untuk menurkarnya dengan segala kesenangan dunia ini,”
tulis Lewis.
Pada
tahun 1917, ia menjadi tentara, namun diizinkan tetap kuliah di Oxford sampai
ia ditugaskan sebagai letnan dua dan dikirim ke garis depan. Setelah terluka
dan dibebastugaskan,Lewis kembali menekuni kuliahnya dan menjadi lulusan
terbaik dalam angkatannya.
Karena
belum ada peluang untuk mengajar filsafat, ia melanjutkan kuliah tahun keempat
di Oxford College, tempat ia bertemu dengan seorang mahasiswa Kristen bernama
Nevil Coghill. Coghill memiliki perspektif yang berperan dalam mengubah cara
pandang Lewis terhadap dunia ini.
Mengenai
Coghill, Lewis mengatakan,”(Ia) jelas orang yang paling cerdas dan terpelajar
di kelas ini...Faktor-faktor yang mengganggu saya dalam diri Coghill (yaitu
kekristenan) ini memperbesar gangguan yang saat ini menantang seluruh cara
pandang saya sebelumnya. Semua buku yang pernah saya baca seakan mulai
menyerang saya.”
Lewis
pun mulai membaca karya-karya pengarang Kristen. Khususnya, ia mengagumi George
Mac Donald, penulis Skotlandia. Di dalam tulisan-tulisannya, Lewis menemukan
suatu kekudusan yang belum pernah dijumpainya sebelumnya. Karya-karya John
Milton, khususnya Paradise Lost, semakin menggugah rasa ingin tahunya. Demikian
pula persahabatannya dengan J.R.R Tolkien, pengarang The Lord of The Rings.
Tahun
1925, Lewis bergabung dalam organisasi sarjana Inggris di Magdalen College,
Oxford. Kuliah-kuliahnya selalu penuh peserta, sehingga diperlukan ruang yang
lebih luas. Seiring dengan itu, ia semakin giat mencari Tuhan. Dalam sebuah
surat kepada sahabat dekatnya, Lewis menceritakan “percakapan panjang yang
memuaskan dengan dua orang teman Kristen dengan pengakuan bahwa, “Saya belajar
banyak.” “Cara pandangnya telah bergeser dari Idealisme (Tidak mengakui adanya
pribadi Allah) ke Panteisme (Allah yang impersonal, yang ada di dalam segala
sesuatu), dan kemudian pada Teisme (keberadaan Allah).”
“Pada
saat kuliah tentang Trinitas pada tahun 1929, saya menyerah, dan mengakui,
bahwa Allah adalah Allah – sya pun berlutut dan berdoa.... Kekerasan Allah itu
jauh lebih lembut daripada kelunakan manusia, dan apa yang dipaksakanNya adalah
demi pembebasan kita.”
Langkah
terakhir Lewis menuju kekristenan adalah sewaktu ia menerima penjelmaan Yesus
Kristus sebagai fakta. “Sekarang sasya mendekati sumber yang sejak masa kecil
saya telah melepaskan panah-panah Sukacita itu ... Sedikit pun saya tidak
menduga adanya keterkaitannya. Dalam pengharapan saya, jantung realitas akan dapat
dilambangkan sebaik-baiknya sebagai
sebuah tempat; sebaliknya, saya menemukannya sebagai Seorang Pribadi.” Sukacita
abadi pun menjadi suatu kenyataan bagi C.S. Lewis.
Tiga Lewis
Seorang
sahabat dekatnya, Owen Barfield, menyatakan, sebenarnya ada tiga “C.S. Lewis”.
Maksudnya, sepanjang hidupnya, Lewis menjalani tiga profesi yang sangat berbeda
– dan menjalani ketiga-tiganya dengan berhasil.
Pertama,
ia menjadi sarjana dan kritikus sastra yang menonjol di Oxford dan Cambridge
(ia diangkat sebagai profesor di Cambridge pada tahun 1955). Kedua, ia
pengarang fiksi ilmiah dan cerita anak-anak yang termasyur. Ketiga, Lewis
adalah penulis dan penyiar radio yang gigih membela iman Kristen.
Pada
tahun 1936, Lewis menerbitkan karya terobosan yang mengukuhkan reputasinya
sebagai sarjana sastra, The Allegory of Love. Buku ini mengubah pemahaman
tentang fungsi alegori dalam sastra abad pertengahan. Karya penting lainnya
terbit pada tahun 1954, yaitu English Literarture in the Sixteenth Century,
kupasan tuntas puisi dan narasi dalam kesusastraan Inggris abad ke -16.
Akan
tetapi, Lewis lebih dikenal melaui karya fiksi dan apologetika Kristennya.
Tahun 1936, ia menyelesaikan buku pertama dari trilogi fiksi ilmiah berlatar
ruang angkasa, Out of the Silent Planet. Bagian kedua, Perelandra, menyusul
tahun 1943, dan bagian terakhir That Hideous Strength, terbit tahun 1945.
Namun, karyanya yang paling menonjol dan paling laris adalah tujuh jilid
Chronicle of Narnia (1950-1956). Jilid pertamanya, The Lion, The Witch, and the
Wardrobe, menampilkan Aslan sang singa, figur yang melambangkan Kristus,
pencipta dan penguasa negeri Narnia, serta petualangan empat anak Inggris yang
memasuki negeri itu melalui sebuah lemari pakaian.
Adapun
reputasi Lewis sebagai pembela iman Kristen yang gigih dimulai dengan terbitnya
dua karya pentingnya : The Problem of Pain (bahasan tentang penderitaan – dan
doktrin tentang neraka- sebagai bukti akan adanya alam semesta yang teratur,
terbit 1940) dan The Screwtape Letters (surat menyurat antara iblis tua dan
iblis muda, terbit 1942).
Pada
masa Perang Dunia II, Lewis tampil sebagai pengisi acara rohani di radio , dan
kemudian dikenal sebaai “rasul bagi kaum skeptis”. Esei-eseinya yang disiarkan
tersebut menegakkan dan menjelaskan iman Kristen yang memberikan penghiburan
bagi jiwa-jiwa yang ketakutan dan terluka. Kumpulan eseinya ini diterbitkan di
Amerika Serikat sebagai Mere Christianity pada tahun 1952.
Poster
C.S. Lewis muncul pada sampul majalah Time, 8 September 1947. Dalam usia yang
relatif muda dan baru bertobat enam
belas tahun, ia telah menjadi pengarang Kristen paling terkenal di Amerika
Serikat dan Inggris.
Salah
seorang penyimak karyanya adalah Joy Davidman Gresham, seorang Yahudi-Amerika,
aktivis Partai Komunis yang kemudian bertobat dan memeluk Kristen. Perjumpaan
meerka pada awal tahun 1950-an, yang difilmkan dalam Shadowlands, diawali oleh
kerinduan Joy untuk berbincang-bincang lebih lanjut dengan pengarang favoritnya
tentang kekristenan. Lewis kemudian menikah dengan janda beranak dua ini.
Namun, kebahagiaan pernikahan mereka hanya berlangsung sebentar karena Joy
meninggal pada tahun 1960 akibat kanker. Pergumulan imannya setelah kepergian
Joy dituangkannya dalam A Grief Observed (1960).
Sumbangan
Lewis
Dalam
menelusuri karya dan sumbangan C.S. Lewis, pencapaian terbesarnya tidak lain
adalah dalam kampus kehidupan itu sendiri. Pada saat peradaban Barat modern
tergelincir ke dalam era “pasca-Kristen”, Lewis dengan berani menentang
pemikiran yang berkembang di balik modernisme dan teologia liberal.
David
Barrat menggambarkan pencapaian tersebut sebagai kemampuan untuk “membawa
kebenaran lama dan memberinya relevansi dan vitalitas baru di tengah zaman
sekuler, serta menantang sikap puas diri yang tengah berkembang...” Kekristenan
Ortodoks memang sedang mundur pada saat Lewis bertobat – digempur baik oleh
teologia liberal maupun skeptisme ilmiah dan sekuler.
Ketika
ia meninggal dunia pada tahun 1953, geerja Kristen di Inggris, dan terlebih
lagi di Amerika Serikat, sedang memasuki suatu masa pembaruan. Orang-orang
Kristen bermunculan dari “tempat persembunyian” mereka dengan keyakinan dan
pengharapan yang baru. Harus diakui, hal ini sebagian didorong oleh apa yang
dikerjakan C.S. Lewis.
Tidak
banyak orang yang mempengaruhi dunia seperti C.S. Lewis. Lebih dari lima puluh
karyanya telah membuka pikiran dan imajinasi banyak orang. Sampai saat ini,
buku-buku Lewis terjual lebih dari dua juta eksemplar setiap tahunnya –
separonya dari The Chronicles of Narnia yang ditulisnya untuk anak-anak itu.
Arie
Saptaji
Tidak ada komentar:
Posting Komentar