Pada saat saya berusia
19 tahun saya diperkosa dengan ancaman pisau belati di Hollywood, California.
Saya merasa kotor, bekas terpakai Dan semua kebanggan saya terhempas begitu
saja. Memang kehamilan akibat perkosaan hanya kurang dari 1%, tapi saya
termasuk satu dari antara yang sedikit tersebut.
Pada mulanya untuk
beberapa waktu lamanya saya menyangkal, namun sementara tubuh saya mengalami
perubahan saya sadar saya tidak dapat menutupi kenyataan trsebut lebih lama
lagi- saya hamil. Saya pikir pasti Ada jalan keluar yang terbaik! Saya baru
saja menjalani wawancara untuk pekerjaan sebagai pramugari. Tetapi lebih
daripada resiko dalam karir saya, pikiran saya tidak tahan untuk menanggung
bayi dari orang yang memperkosa saya.
Saat saudara perempuan
saya menyebut hal aborsi, hal itu terdengar seperti solusi yang sempurna.
Aborsi masih belum disahkan pada waktu itu, tetapi saudara perempuan saya
mengatur persiapannya. Saya menemui seorang laki-laki di Griffdith Park, yang
membawa saya dengan Mata tertutup kain ke sebuah kantor dokter. Tetapi ternyata
dokter tersebut tidak mau melakukan aborsi karena saya menderita infeksi
kerongkongan yang sedemikian buruk - bila infeksi tersebut menyerang rahim,
saya bisa mati. Maka IA menyuruh saya pulang Dan menghadapi kenyataan bahwa
saya hamil, Dan entah bagaimana saya bisa menjalaninya.
Kemudian saya menemukan
seorang dokter yang sangat peduli yang membantu saya melihat bahwa setiap kehidupan
itu berharga. Saya mulai merasakan kasih Dan menerima anak saya, terlebih saat
saya merasakan bayi saya bergerak. Saya merasa sukacita karena kehidupan yang
baru di dalam diri saya Dan nyaris lupa asal mulanya. Saat saya akhirnya
memberitahukan orang tua, ayah saya terkejut mengetahui saya hamil, apalagi
dari seorang pemerkosa. Dokter keluarga membawa ayah saya berkenalan dengan
Planned Parenthood (Keluarga Berencana), tempat saya mendapat informasi bahwa
aborsi adalah "satu-satunya solusi." Mereka tidak menawarkan
alternatif lain.
Saya mempercayai mereka
bahwa mimpi buruk saya akan berlalu, Dan saya dapat meneruskan kehidupan saya
sesudah aborsi seolah-olah "tak pernah terjadi apa-apa." Orang tua
saya menghubungi District Attorney (D.A. Yaitu Pengacara Daerah) untuk memberi
kesaksian tentang pemerkosaan sehingga saya dapat memperoleh aborsi sah. Saat
D.A. Menyetujuinya, saya sudah hamil 22 minggu, Dan telah memutuskan bahwa saya
sungguh ingin mempertahankan bayi saya.
Namun saya merasakan
tekanan yang hebat dari semua pihak - terutama untuk menyenangkan orang tua
saya - sehingga akhirnya saya mengalah. Saya tidak akan pernah melupakan Hari
saat orang tua saya meninggalkan saya di rumah sakit. Saya merasa sendiri,
kosong Dan terlupakan. Saya ingin melarikan diri, lari - tetapi disana tidak
Ada tempat atau orang untuk saya tuju. Hati saya tercabik - saya tahu bayi saya
akan mati Dan saya memperbolehkannya, namun demikian saya begitu takut
menyusahkan hati orang tua saya.
Dokter menyuruh saya
berbaring tenang saat IA menembakkan larutan garam ke dalam perut saya. Saya
berbaring disana berharap untuk mati. Saya pergi ketempat bersalin, Dan
berkhayal bahwa saya akan melahirkan bayi yang hidup. Tak seorangpun mengatakan
persalinan macam apa yang akan saya jalani. Selama 18 jam saya meronta-ronta
sendirian saat kontraksi berlangsung. Kemudian, hanya dengan bantuan seorang
perawat yang masih muda yang berdiri di sebelah saya, saya melahirkan bayi
perempuan saya yang mungil ke dalam sebuah bejana sorong.
Ia sudah terbentuk
seluruhnya sempurna, tetapi IA tidak bergerak Dan tenang. Saya terguncang saat
saya melihat kepada apa yang orang katakan kepada saya hanyalah segumpal
daging.
Pada saat itu saya
rasa-rasanya sedang menunggu untuk melihat dia mulai menangis, masih berharap
dia hidup. Saya merasakan kekosongan yang tidak dapat diisi oleh apapun Dan
segera menyadari bahwa akibat aborsi terus berkelanjutan lama meskipun ingatan
akan pemerkosaan telah berkurang.
Untuk tiga tahun
berikutnya saya mengalami depresi Dan mimpi-mimpi buruk yang menakutkan. Saya
bermimpi sedang melahirkan, tetapi kemudian orang-orang merampas bayi saya.
Saya mendengar tangisannya Dan memeriksa ke segala tempat, tetapi saya tidak
berhasil menemukannya. Saya hanya mendengar tangisannya bergema di kejauhan.
Saya menguburkannya dalam-dalam Dan mengeraskan hati saya atas derita tersebut.
Berlawanan dengan apa
yang dikatakan orang selama ini, aborsi adalah hal yang jauh lebih sulit untuk
dihadapi daripada pemerkosaan itu sendiri. Pemerkosaan adalah suatu kejahatan
yang mengandung kekerasan yang menimpa saya, seorang korban yang tak berdosa.
Sedangkan aborsi adalah pembunuhan yang mengandung kekerasan terhadap anak
saya, Dan saya adalah salah seorang pelakunya.
Saya berusaha untuk
menipu diri saya sendiri bahwa saya mempunyai alasan yang baik untuk melakukan
aborsi - bagaimanapun juga, saya telah diperkosa. Akan tetapi kenyataan itu
sangat melukai saya saat mengingatnya, maka saya berusaha mengubur kenyataan
tersebut. Kemudian saya menikah Dan memiliki dua orang anak laki-laki.
Saat yang kecil berusia
tiga bulan, suami saya Dan saya menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan Dan Juru
Selamat kami. Kesembuhan banyak terjadi di banyak segi kehidupan saya, tetapi
derita aborsi yang pernah saya lakukan masih menghantui kehidupan saya. Saya
belum mau mengakui bahwa peristiwa itu sah mempengaruhi kehidupan saya.
Meskipun saya telah
memutuskan tidak akan pernah melakukan aborsi lagi, namun saya tidak dapat men
yang kal bahwa orang-orang lain akan memilihnya. Tiap kali aborsi tersebut
diucapkan, dalam diri saya terasa sakit. Saya tidak ingin mendengarnya.
Beberapa tahun kemudian saya didiagnosa menderita kanker tengkuk Dan
membutuhkan hysterectomy - ini menghancurkan impian saya selamanya untuk memperoleh
bayi perempuan.
Akhirnya Tuhan
mengangkat beban berat yang tertanam dalam hati saya yang terluka. Ia
mengangkat kepermukaan segala luka, derita Dan duka cita atas kematian putri
saya. Saya merasa bersalah Dan menyadari luka dalam yang terjadi, memerlukan
kesembuhan. Pada mulanya saya marah, marah karena saya membiarkan diri saya
mengaborsi, Dan berpikir bahwa Tuhan sedang menghukum saya atas perbuatan
tersebut.
Sulit untuk menghadapi
tanggung jawab saya sendiri dengan penuh keberanian. Kenyataannya, sayalah yang
memilih untuk menjalani aborsi. Kami sungguh menuai apa yang kami tabur. Namun
saat saya mengakui dosa saya, Tuhan itu setia dan berkenan mengampuni dosa saya
dan menjauhkannya sejauh timur dari barat. Dia adalah Tuhan yang mengampuni,
tetapi saya harus berjuang berat untuk dapat mengampuni diri sendiri.
Beberapa tahun sebelum
menderita kanker saya bermimpi mengadopsi anak perempuan bernama
"Harapan". Allah mengingatkan saya akan mimpi ini setelah
'hysterectomy' . Saya percaya Dia sedang membuat janji dengan saya, yaitu janji
atas seorang anak perempuan. Lima tahun kemudian, sesuai janji -Nya,
"Harapan" datang ketengah keluarga kami saat ia berumur tiga minggu.
Ia nyaris menjadi korban aborsi.
Meski saya tidak pernah
bertemu dengan ibu kandungnya, saya berdoa untuknya setiap hari. Ia memberikan
kehidupan pada anak perempuan saya - hadiah yang paling berharga. Dan ibunya
memberikan bayinya lebih daripada itu - harapan untuk medapatkan keluarga yang
mengasihi yang tidak bisa diberikannya.
Pada mulanya saya ingin
"Harapan" menggantikan putri saya yang hilang, tetapi segera saya
sadar bahwa tak ada seorang anak pun yang dapat digantikan. Tuhan mulai
menyingkapkan segi-segi lain yang membutuhkan kesembuhan akibat aborsi.
Kerusakan yang terjadi jauh lebih parah daripada yang orang pahami. Secara
fisik, tentu saja, seorang bayi direnggut dari kandungan ibunya.
Namun secara emosional,
saya yakin sudah ada ikatan batin antara si ibu dan anak, seakan-akan ada
bagian yang terenggut dari jiwa saudara sendiri. Bagian dari dirimu juga sudah
mati. Kesedihan adalah proses penting yang saya jalani untuk mendapat
kesembuhan dari trauma aborsi saya. Saya percaya bagian dari proses kesedihan
itu seumpama mengidentifikasikan kehidupan si bayi kecil tersebut sebagai
seorang individu, seperti memberi nama bayi saudara tersebut.
Saya tidak akan lupa
detik-detik ketika putri saya yang tak bernyawa terbaring di dekat saya, tetapi
melalui anugerah kesembuhan dari Yesus, saya tahu bahwa saat ini ia berada di
surga bersama-Nya, di dalam gendongan-Nya. Namun saya masih melewati
waktu-waktu ketika saya menangis untuk Jennifer mungil saya yang tidak pernah
diperkenankan tertawa atau menangis atau mendengar ombak lautan atau memanjat
pohon dan merasakan sinar mentari pada wajahnya atau tahu air mata atau
perjuangan dan sukacita kehidupan. Akhirnya saya menulis sepucuk surat untuk
putri saya.
Jennifer sa yang ,
Mama tahu saat kau Mama
kandung, meski Mama berusaha keras untuk mengabaikannya. Oleh karena engkau
adalah hasil dari pemerkosaan, Mama merasa begitu kesepian dan bingung.
Pada mulanya Mama hanya
ingin membinasakanmu. Tetapi saat Mama mulai merasakan gerakan-gerakanmu di
dalam tubuh Mama, Mama mendapati diri Mama mau menerima keberadaanmu. Kamu
berumur 22 minggu saat ijin untuk aborsi sah Mama diberikan, padahal Mama telah
memutuskan untuk menerima dirimu.
Mama mulai semakin
mengasihi dirimu, tetapi dibawah tekanan dari orang-orang disekitar Mama, Mama
langsung setuju dengan aborsi.
Untuk bertahun-tahun
sesudahnya tangismu menggema dalam mimpi-mimpi yang tiada akhir sampai akhirnya
kesembuhan terjadi. Lalu Mama menamai dirimu dan membiarkan diri Mama meratap
atas kematianmu. Mama juga menjadi korban sebagai akibat dari mengambil
keputusan berdasarkan beberapa potong informasi yang salah.
Bagian dalam diri Mama
mati bersamamu. Saat kau dari surga memandang kebawah, Mama tahu kau mengampuni
Mama seperti halnya Mama telah belajar mengampuni diri Mama sendiri.
Sekarang ini Mama
menekankan kepada orang lain untuk membantu mereka yang telah berbuat kesalahan
dalam aborsi, dan juga menolong orang-orang lain untuk tidak berbuat kesalahan
seperti yang telah Mama buat. Kesembuhan hanya dapat datang melalui kasih Yesus
yang berkuasa.
Sampai kita bertemu
lagi,
Jenniferku,
Mama mengasihimu.
Oleh : JAckie Bakker
Kisah di atas dikirim
oleh Jackie Bakker adalah kejadian sesungguhnya terjadi diambil dan
diterjemahkan dari majalah American Against Abortion.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar