Gurgur Manurung
http://www.cerita-kristen.com/joomla
Menjadi anak kost merupakan bagian dari proses
pendewasaan seseorang, jika anda pernah menjadi anak kost tentu anda memiliki
kenangan tersendiri. Bagi saya menjadi anak kost sudah sejak berusia 18 tahun. Sebelum
menjadi anak kost, saya tidak bisa mencuci pakaian, menggosok pakaian apalagi
memasak. Seorang teman bercanda mengatakan bahwa saya itu hanya bisa memasak air,
itupun gosong. Kendala menjadi anak kost tidak hanya tidak bisa ini dan itu,
tetapi juga harus bisa beradaptasi dengan tetangga termasuk menjaga perasaan
teman kost. Kalau tidak, kita akan kesulitan tinggal di tempat kita.
Sepanjang pengalaman saya menjadi anak kost di
berbagai kota, salah satu yang paling berkesan adalah di Bogor. Pertama kali
tinggal di Bogor saya bertemu dengan seorang laki-laki lajang berumur 37 tahun.
Sayapun memperkenalkan diri ditempat kost baru. Kami tawar menawar soal masalah
panggilan, saya menawarkan kalau saya memanggil dia koko karena dia adalah
keturunan Tionghoa, dan panggil saya Gurgur, akhirnya kami sepakat. Berikutnya,
saya dikenali dengan anak-anak kost lain. Koko, orangnya sangat pintar menyanyi
dan bermain gitar. Hampir 90 % lagu-lagunya di setiap kesempatan adalah lagu rohani.
Beberapa lagu rohani yang bernuansa dari suku Batak juga dia kuasai, walaupun
intonasinya sering salah, saya menjadi senang lagu yang berjudul "Hodo
Rajakku Sipalua Ahu" (Engkaulah (Yesus) Rajaku Yang Menyelamatkanku).
Setiap pagi pukul 4.30 Wib koko menyanyi sebelum
membaca Alkitab. Saya sungguh bersyukur bertetangga dengannya, karena akupun
diingatkan untuk berdoa di pagi hari. Seringkali, setelah koko selesai saat
teduh dia selalu mengintip saya dari jendela dan berkata "Gur, apa kata
Tuhan tentang kehidupan hari ini?". Sambil bercanda saya menjawab, jangan
brisik atuh, ko. Setelah itu barulah saya membuka pintu kamarku. Setelah kami
semakin dekat, saya diajak Penalaahan Alkitab (PA) di Gerejanya, yaitu GPIB
yang sering saya plesetkan Gereja Penjual Inventaris Belanda. Gereja saya
dengan koko berbeda (saya HKBP yang sering juga saya plesetkan Habis Kue Baru
Pulang), menurut pemahamanku gereja kami tidak berbeda dalam pemahaman Doktrin.
Permintaannyapun saya turuti dan setiap Jumat malam kami ber- PA dengan teman
yang lain. Sore hari kami sering lari-lari ke kebun raya Bogor, jika kami jalan
pelan atau sedang istirahat, kami sering membicarakan kasih Tuhan kepada kami
dan kepada dunia ini. Setelah kami pulang dari kebun raya Bogor, kami makan
malam yang sangat menyenangkan. Jika kami mau pulang, koko tidak pernah lupa
membawa makanan anjing kami namanya si ciko dan si broni. Keberadaan anjing
kami itu menambah suasana tempat kost kami menjadi lebih ramai. Jika saya mau
jujur, salah satu orang yang paling kukagumi adalah koko. Alasanku dia adalah
seorang alumni fakultas kehutanan salah satu perguruan tinggi terkenal di
Bogor, dia pilih menjadi guru dan sudah 13 tahun menjadi kepala sekolah di
salah satu Sekolah Menengah Umum (SMU) di Bogor. Setiap pagi dia mendoakan
guru-guru, dan muridmuridnya. Walaupun sudah 13 tahun menjadi kepala sekolah,
dia hidup sangat sederhana. Dia hidup di sebuah kamar kontrakan, memiliki
sebuah sepeda motor. Dengan gajinya yang sangat terbatas, koko juga menjadi
orang tua asuh seorang anak di Papua. Pertamakali saya tahu, karena suatu
ketika saya menanyakan tentang foto seorang anak kecil dikamarnya berpakaian
seragam Sekolah Dasar (SD). Koko juga aktif di Gereja dan salah satu pengajar
katekisasi di Gerejanya. Jika musim kenaikan kelas dan kelulusan, banyak orang
tua yang membawa "upeti" ke tempat kost kami. Saya menyaksikan
sendiri, tidak ada upeti yang koko terima. Jika si anak tinggal kelas, saya
mendengar koko mengatakan kepada orangtua si anak agar mempercayakan anaknya
untuk didik menjadi anak yang bermoral baik. Tolong bu, pak, saya tidak bisa
menerima hal seperti itu, katanya. Tetapi jika yang dikirim orang tua murid
buah atau sejenis makanan pastilah saya pionir untuk memakanya, itupun kalau
pengiriman jasa titipan. Koko tidak hanya idealis, juga baik hati, koko juga
sangat sayang kepada kami.. Seringkali di pagi hari dia menyiapkan minuman susu
atau teh. Hampir setiap hari Minggu kami memasak bersama dengan anak kost yang
lain, maklum koko sangat pintar memasak. Pada saat kami makan bersama, seorang
teman kami mengatakan agar koko jangan menikah dulu sebelum kami lulus kuliah,
karena kalau menikah kami akan terlantar. Sungguh keberadaan koko ditengah
"egoisme" saya dan teman-teman menjadi pudar.
Suatu hari, saya terlambat bangun karena saya
mengerjakan tugas-tugasku sampai larut malam. Saya terbagun pukul 8.00 wib,
langsung cuci muka dan pergi ke meja umum. Di meja umum saya melihat segelas
susu dan langsung saya minum sebahagian, kemudian saya kembali ke kamar untuk
membersihkan kamarku yang berantakan. Beberapa menit kemudian, seorang teman
bernama Budi (nama samaran) marah-marah sambil menanyakan siapa yang meminum
susu yang diatas meja. Tentu saya sangat terkejut bercampur rasa malu untuk
mengakuinya. Saya keluar kamar dan mengatakan minta maaf kepada teman itu.
Walaupun saya minta maaf dan saya mau mengganti, tetap saja saya dicaci maki.
Saya menjelaskan, saya meminum susu itu, saya kira si koko yang
menyediakan. Karena koko seringkali meninggalkan susu
disini. Sepanjang hidup saya, baru kali inilah saya bener-benar tidak berkutik,
untuk menghadapi orang. Budi tidak pernah berhenti mencaci maki saya, walaupun
beberapa kali saya selalu berusaha memegang tangannya untuk minta maaf. Terus
terang, sebagai lelaki saya merasa tertantang untuk "berduel"
dengannya. Maklumlah, saya juga hidup ditengah-tengah orang-orang
"pasaran". Emosi saya telah di ubun-ubun untuk
"menghantamnya". Di saat-saat emosi saya mau "meledak",
saya teringat pesan ibu pendetaku waktu memberangkatkanku dari Pekanbaru. Abang
(panggilanku di Gereja), jika kamu mengikut Kristus, kedaginganmu harus mati.
Kalimat itu melekat di hatiku, dan akhirnya aku lari ke kamarku dan menidurkan
badan dan sambil berdoa. Tuhan ampuni aku, anak-Mu telah mendukakan hati-Mu.
Dua hari kemudian, pada pukul 19.00 wib, telpon
berbunyi. Koko yang mengangkat telpon. Telpon datang dari sebuah rumah sakit
mengatakan Budi tabrakan di daerah Warung Jambu Bogor. Koko langsung mengajakku
naik motor menuju rumah sakit. Tiba kami di rumah sakit, kami melihat tangannya
patah, badannya, kakinya banyak yang terluka parah dan tidak bisa diajak
komunikasi. Pada pukul 24.00.Wib kami anak satu kost berkumpul untuk
menyepakati siapa yang menjaga malam itu. Semua teman-teman memiliki alasan
tidak bisa menjaganya malam itu. Koko langsung mengambil keputusan, kalau
begitu, Gurgur sajalah yang menjaga. Aku kaget setengah mati. Saya langsung
protes dan menjelaskan kejadian dua hari yang lalu menjadi alasanku. Gur, yang
dibutuhkan sekarang, kamu belajar rendah hati, kata koko dengan gaya kurang
bersahabat. Aku belum pernah tersinggung selama bersahabat dengan koko, tetapi
kali ini aku sangat tersinggung, karena saya menganggap koko tidak mengerti
permasalahan. Ko, bukan aku tidak mau belajar rendah hati, permasalahannya
adalah bagaimana orang sakit diurus orang yang dibencinya? Secara psikologis
kan, begitu? kataku meyakinkan. Kamu belajar rendah hati, itu saja, kata koko
dan langsung meninggalkanku. Saya sangat kesal melihat koko, rasanya mau kucaci
maki koko malam itu di rumah sakit. Lagi-lagi, saya mengingat pesan ibu
pendetaku. Akhirnya semua teman-teman kost meninggalkan kami dan sayapun kesal.
Setelah saya tinggal sendirian, saya berdoa sebentar meminta hikmat dari Tuhan.
Setelah itu saya mendekati Budi dan memegang tangannya. Bang, siapa teman abang
menjagaku? tanya Budi. Aku kaget, melihat Budi sadar tiba-tiba. Tenanglah, aku
akan menjagamu, kataku. Mulai pukul satu sampai pukul enam pagi Budi selalu
merintih kesakitan. Walupun berbagai cara dan jenis obat yang digunakan untuk
mengurangi rasa sakit, Budi terus merintih kesakitan. Jujur saja, saya tidak
sanggup untuk melihatnya. Pada sore harinya, saya dan Budi memutuskan untuk
dioperasi. Kami memutuskan, karena tidak satupun keluarga dan kerabat yang
datang untuk menjenguknya. Sampai hari kedua saya tidak pernah mandi, karena
tidak ada kesempatan karena perlengkapan saya tinggal di tempat kost. Bersyukur
pada hari kelima orang tua Budi sudah datang dari Cirebon. Satu hal yang
mengagetkan saya adalah walaupun orangtuanya sudah datang, saya selalu diminta
Budi untuk memandikannya, dan urusan hal-hal yang sangat pribadi. Pada saat
itulah saya sadar betapa baunya kotoran dan air seni orang yang meminum banyak
obat. Ketika saya sedang memandikan Budi, pernah dia mengatakan bahwa sayalah orang
"Batak" yang paling lembut yang Budi kenal. Saya hanya tersenyum
mendengarnya. Bang, ternyata saya salah menilaimu selama ini, saya minta maaf,
kejadian gara-gara susu itu, katanya. Akupun mengiyakan sambil memasang pakaiannya.
Sampai saat ini, saya dan Budi menjadi sahabat baik dan patah tangannya sembuh
100 %.
Terpujilah Tuhan. Koko sekarang sudah menikah dan
memiliki seorang anak perempuan, koko menikah dengan seorang pendeta GPIB. Koko
masih tetap tinggal di kost, sementara istrinya melayani di pedalaman
Kalimantan. Dalam hatiku yang paling dalam berdoa agar Tuhan menguatkan koko
dan istrinya yang berjauhan. Jikalau boleh agar mereka satu rumah agar si kakak
dan anaknya merasakan betapa dalamnya kasih sayang koko yang sangat mencintai
Tuhan, walaupun tinggal di tempat kost. Teladan hidup yang diberikan koko
membuatku mau belajar tentang kasih Tuhan. Hati yang tulus yang koko berikan, membuatku
semakin percaya bahwa kebahagian itu tidak pada materi. Koko telah menjadi
berkat bagiku, aku mau meneladaninya.
Salam hangat.
Catatan: Plesetan kepanjangan akronim Gereja bukan
bertujuan untuk merendahkan atau semacamnya, tetapi kritik saya kepada Gereja
agar tetap menjaga visinya dengan baik, juga bertujuan agar Gereja berhenti
menjual inventarisnya tetapi dengan giat mengembangkan. Plesetan akronim itu
telah beredar lama ditengah masyarakat.
kisah inspiratif, sy kenal si koko dalam cerita ini, Tuhan Yesus memberkati
BalasHapus