Dari
Lintasan Olimpiade ke Ladang Misi
“God made me fast, and when I run, I feel His
pleasure (Allah membuatku dapat berlari cepat, dan ketika aku berlari, aku
merasakan kegirangan hati-Nya),” demikian dikatakan oleh Eric Liddell dalam
Chariots of Fire.
Peraih Oscar sebagai film terbaik tahun 1982 itu
mengisahkan perjuangan dan tantangan yang dihadapi dua orang pelari jarak
pendek untuk meraih medali dalam Olimpiade Paris 1924. Salah satunya adalah
Eric Liddell tadi, orang Kristen Skotlandia yang diharapkan untuk menggantikan
pelayanan ayahnya sebagai utusan Injil di Cina.
Liddell mendapatkan ‘kekuatan untuk menyelesaikan
pertandingan sampai akhir” dengan melihat berlari dan meraih kemenangan sebagai
suatu cara untuk memuliakan Tuhan. Ia mengumpamakan perlombaan lari sebagai
khotbah. Namun, rupanya keyakinan tersebut mesti diuji.
Dalam perjalanan menuju Paris, Eric Liddell baru
mengetahui bahwa nomor pertandingannya akan digelar pada hari Minggu. Padahal,
ia berkeyakinan bahwa ia tidak patut bertanding lari pada hari Sabat. Pangeran
Wales sendiri mendesak Eric untuk menghormati raja dan negaranya lebih daripada
Tuhan. Tanggapan Eric atas tekanan ini merupakan teladan yang sangat indah
tentang bagaimana kita dapat mempertahankan keyakinan kita dengan sikap yang
terhormat. Eric menolak untuk berlari dalam pertandingan yang telah dijadwalkan
baginya, dan memilih untuk bertanding dalam nomor yang sebenarnya bukan
andalannya.
Eric Liddell memiliki keyakinan yang tidak
terguncangkan karena ia membangun hubungan pribadi dengan Tuhannya dan
menyadari tujuan hidup yang ditetapkanNya. Ia menjalani kehidupan yang penuh
dengan sukacita ilahi- sukacita yang tidak bergantung pada kalah atau menang,
melainkan sukacita yang merupakan buah dari kehidupan yang saleh.
Anak
Seorang Utusan Injil
Eric Henry Liddell lahir pada tanggal 16 Januari 1902
di Tientsin (Tianjin), Cina Utara. Ia anak kedua dari keluarga James Dunlop,
utusan Injil dari London Mission Society. Sejak tahun 1908 sampai 1920, ia
belajar di Eltham College, Blackheath, sebuah sekolah bagi anak-anak utusan
Injil. Eric, bersama kakaknya, Rob, ditinggalkan di sekolah berasrama ketika
orangtua dan adik mereka, Jenny, kembali ke Cina.
Pada tahun 1920, Eric masuk ke Universitas Edinburgh
untuk mendapatkan gelar di bidang Ilmu Murni. Ia menyukai atletik dan rugby.
Namun, karena kurangnya waktu untuk berlatih, ia memutuskan untuk berfokus pada
lari menjelang Olimpiade Paris. Di arena itu, akhirnya ia meraih medali emas
dan memecahkan rekor di nomor 400 meter dan medali perunggu di nomor 200 meter.
Tidak lama setelah olimpiade, ia lulus sekolah, lalu
kembali ke Cina Utara. Ia melayani sebagai utusan Injil sejak tahun 1952 sampai
tahun 1943, pertama di Tientsin (Tianjin) dan kemudian di Siaochang. Saat
mengambil cuti pertama pada tahun 1932, ia ditahbiskan sebagai pendeta. Kembali
ke Cina, ia menikah dengan Florence Mackenzie, anak seorang utusan Injil dari
Kanada, di Tientsin tahun 1934. Mereka dikaruniai tiga orang anak perempuan :
Patricia, Heather dan Maureen.
Hidup di Cina pada masa itu sangatlah berbahaya. Pada
tahun 1937, Eric dipindahkan ke Siaochang, bergabung dengan kakaknya, Rob. Pada
tahun 1941, kehidupan di Cia kian membahayakan saja, sehingga pemerintah
Inggris meminta warganya untuk meninggalkan negeri itu. Florence dan anak-anak
mereka berangkat ke Kanada. Selama 1941-1943, Eric tinggal di Tientsin, dan
pada tahun 1943 ia dipenjarakan di Weishien sampai meninggal pada tahun 1945.
Paman
Eric
Di Weishien, Eric Liddell tampak menonjol di antara
1.500 orang yang memadati kamp yang hanya seluas 135 kali 180 meter. Ia
bertugas di bagian anak-anak kecil. Anak-anak itu telah terpisah dari orang tua
mereka selama empat tahun akibat perang, dan hidup bersama guru mereka.
Ia sendiri tinggal di asrama pria yang sesak. Bersama
teman sekamarnya, dan dengan bantuan cahaya lampu minyak kelapa yang
berkedip-kedip, setiap dini hari ia mempelajari Alkitab dan bersekutu dengan
Tuhan selama satu jam.
Satu hari setiap minggu, “Paman Eric” (demikian ia
dikenal oleh anak-anak di kamp itu) menjaga anak-anak, sehingga para guru
(semuanya utusan Injil dari China Inland Mission dan semuanya wanita) dapat
beristirahat.” Wajahnya lemah lembut dan senyumnya hangat,” kenang seorang
anak. Ia mengajari anak-anak itu memanfaatkan
peralatan yang ada untuk membuat permainan. Tampak jelas ia sangat mengasihi
anak-anak dan sangat rindu pada anak-anaknya sendiri.
Ia juga mengadakan pertemuan olahraga. Selain
berlomba lari. Selain berlomba lari, mereka bermain bola basket, sepakbola dan
rounders.
Eric Liddell sering berbicara berdasarkan 1 Korintus
13 dan Matius 5. Kedua perikop itu secara jelas menunjukkan rahasia
kehidupannya yang tidak egois dan rendah hati. Sangat jarang – hanya pada
kesempatan tertentu ketika orang memintanya – ia mau bercerita tentang
pengalamannya di Olimpiade.
Selain mengatur kegiatan olahraga dan rekreasi, ia
juga menolong banyak orang di kamp itu dengan mengajar. Eric selalu terlibat
dalam penyelenggaraan kebaktian. Ia juga memberikan perhatian khusus bagi kaum
lanjut usia, mereka yang lemah dan sakit. Kondisi kamp – jamban terbuka, tikus
dan lalat berkeliaran – tentunya sangat memberatkan bagi mereka. Kesetiaan dan
kehadiran Eric Liddell memberikan dorongan moril tersendiri bagi banyak orang
untuk bertahan hidup di kamp yang padat itu.
Ia termasuk salah satu petugas yang bertanggung jawab
menjaga tata tertib kamp. Kamp itu sendiri seperti sebuah dunia mikro, yang
tahanannya berasal dari hampir dua puluh bangsa.
Eric Liddell mengakhiri pertandingan hidupnya pada
tanggal 21 Pebruari 1945, hanya beberapa bulan sebelum para tahanan dibebaskan.
Ia tidak tahu kalau rasa sakit yang selama ini ditahannya adalah akibat
serangan tumor otak. Ia dimakamkan di sebuah makam kecil di bagian kamp Jepang.
Salah seorang yang mengantarnya ke peristirahatan terakhir adalah Jim Taylor,
cicit Hudson Taylor.
Kenangan
Hidup
Saat ini di Edinburgh berdiri Eric Liddel Centre.
Badan ini antara lain memberikan pelayanan bagi orang-orang yang menderita
dementia, kelab makan siang, kelompok persahabatan bagi kaum lanjut usia, serta
kelas dan kelompok pendukung bagi para perawat orang-orang tersebut. Mereka
juga menyediakan layanan konseling serta pelatihan bagi orang yang mengalami
gangguan kesehatan mental.
Badan itu merupakan kenangan hidup bagi Eric Liddell.
Seperti dikatakan oleh seorang anak yang pernah tinggal di kamp Weshien,”Tidak
ada seorang pun dari kita yang akan melupakan pria ii. Ia berkomitmen
sepenuhnya untuk mengutamakan Allah. Kehidupannya yang bersahaja menggabungkan
kekristenan yang ‘berotot’ dengan kesalehan yang bercahaya....
Sebagai orang Kristen, Eric Liddell benar-benar rindu
untuk mengenal Tuhan semakin dalam, dan sebagai utusan Injil, ia berhasrat
untuk membuat Tuhan semakin dikenal.”
Arie
Saptaji
Tidak ada komentar:
Posting Komentar